Aku sedang membicarakan perihal rencana pernikahan dan satu-satunya yang aku pikirkan tak lain adalah engkau, Bu.
Impian yang beberapa kali kau ingatkan kepadaku bermunculan satu-satu. Tentang memilih dengan serius pendampingku hingga tutup usia, tentang kekhawatiran pekerjaanku di masa mendatang, tentang usaha men-sejahtera-kan kehidupan keluarga, melebihkan kecukupan anak-anakku nantinya, dan sebagian harapan lainnya ku tangkap sebagai doa agar kebahagiaan tak putus melingkupiku.
Bu, telah tiba masanya aku harus berhenti memikirkan diriku sendiri. Aku harus mengubah sikapku. Aku tahu itu. Tetapi di dalam perjalanannya seringkali aku lalai lalu kembali seperti semula.
Bu, andai aku memiliki cukup kekuatan, aku ingin mengangkat derajatmu di setiap rasa syukur. Andai aku memiliki cukup kesempatan, aku ingin ayah tahu -bahwa tanpanya- aku memiliki pahlawan yang aku banggakan seumur hidup.
Bu, apalah yang bisa aku balas untuk semua rasa cinta dan kerelaanmu menjagaku sampai sekarang, kecuali mewujudkan satu persatu mimpi yang pernah kau utarakan waktu itu; melihat aku dan adik menyelesaikan pendidikan dan mendapatkan pekerjaan yang pantas, taman dan kolam ikan koi, memiliki anak cucu yang berakhlak baik serta terakhir memenuhi rukun islam ke-lima.
Bu, akan aku segerakan semuanya. Ini janjiku. Janji seorang anak sulung. Anak perempuanmu.